DAFTAR MENU

  • Home
  • CERITA RAKYAT
  • PUISI
  • ARTIKEL
  • CERPEN

Rabu, 06 Juli 2011

MACAM-MACAM BENCANA ALAM

Bencana Gempa Bumi Terjadi Akibat Pemanasan Global
Gempa bumi besar berkekuatan 7,3 skala Richter terjadi lagi di Indonesia, tepatnya pada hari Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB, berpusat di kedalaman 30 km di bawah Samudra Indonesia atau 142 km barat daya Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebelumnya kejadian gempa (sebagian diikuti dengan Tsunami) terjadi di DIY dan Jateng tanggal 27 Mei 2006 (5,9 skala Richter), Pangandaran, Jabar tanggal 17 Juli 2006 (6,8 skala Richter), Nias, Sumut tanggal 28 Maret 2005 (8,7 skala Richter) dan yang paling fenomenal terjadi di Aceh dan Sumut tanggal 24 Desember 2004 (9,0 skala Richter) yang diikuti Tsunami dengan korban jiwa sekitar 106.523 orang. Mengapa gempa bumi sekarang ini sering terjadi? Apakah ada hubungannya dengan peristiwa Pemanasan Global dan Perubahan Iklim yang sedang kita alami sekarang ini? Jawaban pertanyaan tersebut diungkapkan oleh seorang ahli geologi, Bill McGuire dari Hazard Research Center di University College London, seperti ditulis LiveScience, bahwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor, adalah bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Menurut Mc Guire, ada dua penyebabnya. Yang Pertama, gangguan keseimbangan kerak Bumi. Lapisan es di kutub yang memiliki berat menekan kerak Bumi yang berada di bawahnya. Karena es mencair, kerak di bawahnya berusaha mencari keseimbangan baru. Pergeseran keseimbangan ini dapat memicu aktivitas magma di dalam kerak Bumi maupun aktivitas gempa bumi. “Pada akhir Zaman Es, tercatat adanya peningkatan besar-besaran aktivitas seismik bersamaan dengan penyusutan lapisan es di Skandinavia maupun tempat-tempat lain seperti itu dan memicu tanah longsor di bahwa laut yang pada akhirnya memicu tsunami,” ungkap Mc Guire. Bencana Longsor Terjang Ponorogo KabarIndonesia - Puluhan rumah warga di 7 desa yang ada di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur hancur diterjang longsor. Selain menghancurkan 35 rumah warga, longsor yang disebabkan guyuran hujan selama beberapa hari terakhir juga merusak sejumlah infrastruktur umum di tujuh desa tersebut. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, longsor yang terjadi di 35 titik diantaranya, di Desa Cepoko, Desa Ngrayun, Desa Temon, dan Desa Selur, masing-masing satu titik. Kemudian di Desa Wonodadi ada 3 titik, serta Desa Baosan Kidul ada 10 titik. Sedangkan yang paling parah dan banyak di Desa Mrayan, yakni ada 16 titik. Dari ke-35 titik di 7 desa itu, semuanya mengalami keterlambatan evakuasi karena saat kejadian, sejumlah instansi di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo masih libur Lebaran. Akibatnya, evakuasi baru dilakukan pada Selasa (14/9) pagi kemarin. Bencana longsor ini, merupakan bencana terbesar di wilayah Ngrayun. Kejadiannya serempak di semua titik. Salah seorang korban longsor, Sanikem (45), warga RT 01/RW 01, Dusun Jati, Desa Cepoko, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo mengatakan, saat kejadian, dia tidur di kamarnya. Selanjutnya, Sanikem melarikan diri saat mendengar suara gemuruh tanah longsor yang menimpa rumahnya. "Saya kaget saat ada suara gemuruh dan suara seperti orang melempari genteng rumah saya dengan batu. Usai saya melarikan diri, lama-lama tembok rumah bergerak dan bergeser dari tempat semula, lalu ambrol. Ternyata tebing rumah longsor," terangnya. Meskipun kejadian longsor, tidak ada korban jiwa, namun 35 rumah yang hancur dengan kerugian material mencapai ratusan juta rupiah berharap mendapat bantuan dari Pemkab Ponorogo. Sanikem janda satu anak, berharap agar dirinya segera mendapat bantuan dari pemerintah untuk dapat segera memperbaiki rumahnya. "Saya sudah tidak punya apa-apa. Rumah ini berdiri karena gotong royong lingkungan dan sekarang hancur," ujarnya. Bencana Puting Beliung Terbesar Sepanjang Sejarah Slawi, CyberNews. Cuaca ekstrim menandai bencana angin puting beliung di Kecamatan Slawi dan Pangkah, Kabupaten Tegal. Awan hitam pekat seolah-olah menjadi pertanda bencana puting beliung yang dipercaya sebagai yang terbesar sepanjang sejarah tersebut. Hal ini terjadi beberapa saat sebelum angin puting beliung menerjang empat desa di Kecamatan Pangkah dan satu kelurahan di Slawi. Di Kecamatan Pangkah, empat desa itu adalah Dukuh Sembung, Pesawahan, Bogares Kidul dan Pangkah. Sementara, di Kecamatan Slawi, satu daerah yang terkena di Kelurahan Kagok. Meski hanya berlangsung kurang dari lima menit, namun bencana habat ini meluluhlantakkan rumah maupun bangunan di dua kecamatan tersebut. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tegal, 500 unit rumah dan bangunan rusak akibat terjangan angin tersebut. Pepohonan juga tumbang, salah satunya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Desa Dukuh Sembung. Pemakaman itu kini tak lagi rindang karena hampir seluruh pohon roboh terkena amukan angin tersebut. Sulit dipercaya memang, kekuatan angin tersebut mampu merobohkan bangunan rumah. Salah seorang korban, M Syaukani (45) pemilik CV Rizki Alam Semesta yang bergerak di bidang perkayuan, tumpukan kayu sebanyak 40 meter kubik terbang dan hilang tersapu angin puting beliung itu. "Sebelumnya, terdapat pusaran angin yang sempat menyedot air Sungai Kaligung di samping rumah. Beberapa saat kemudian, air itu seperti disemprotkan ke kawasan rumah saya," tandas warga Desa Dukuh Sembung RT01/RW I Kecamatan Pangkah itu. Bahkan, ada sebuah pohon nangka yang cukup besar dengan diameter sekitar 80 centimeter terbang di kawasan rumahnya terbang sejauh empat kilometer. Sebab, pohon yang tercabut hingga akarnya itu akhirnya ditemukan di Desa Pangkah, Kecamatan Pangkah. Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tegal, Drs Bambang Puji Waluyo MSi menyakini bencana angin puting beliung yang terjadi hari Senin (5/4) sekitar jam 15.05 ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah di daerahnya. Perilaku Aneh Binatang Tanda Awal Bencana Tsunami Gempa bumi dasar laut yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 berkekuatan 9.0 skala Ricther merupakan gempa dengan kekuatan terbesar setelah gempa Alaska pada tahun 1964 dengan kekuatan 9.2. Gempa ini berasal dari Samudera India, yaitu sebelah utara pulau Simeulue dan merupakan ujung pantai barat Sumatra Utara. Gempa ini menghasilkan gelombang raksasa tsunami yang menghancurkan pantai Indonesia, Srilangka, India Selatan, Thailand dan negara lainnya dengan tinggi gelombang lebih dari 30 meter. Sampai saat ini korban jiwa manusia yang tercatat meninggal telah lebih dari 310.000 jiwa. Sedangkan jumlah binatang yang meninggal adalah relatif lebih sedikit atau bisa dikatakan bahwa dampak tsunami pada margasatwa adalah sangat terbatas, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa binatang lebih mempunyai kepekaan terhadap bahaya yang akan terjadi. Spekulasi ini dikuatkan oleh beberapa fakta yang terjadi beberapa jam sebelum terjadinya bencana Tsunami. Perilaku aneh beberapa binatang sebelum bencana tsunami telah diamati di Srilangka, sekitar 1 jam sebelum bencana tsunami terjadi, orang-orang di Taman Nasional Yala mengamati 3 ekor gajah berlarian menjauh dari pantai Patanangala menuju perbukitan. Kelelawar secara fantastis banyak berterbangan disebelah selatan kota Dickwella di Srilangka. Dan juga diamati 2 ekor anjing tidak mau diajak mendekati pantai di dekat Galle, padahal setiap harinya anjing-anjing itu berada disekitar tempat itu. Kejadian aneh juga terjadi di Thailand seperti yang di laporkan di media massa bahwa beberapa ekor gajah yang sedang membawa wisatawan berlari menuju bukit, untuk menyelamatkan penunggangnya sebelum bencana tsunami menghancurkan dinding air di Phuket, Thailand. Di sebuah cagar alam pantai selatan India juga diamati sejumlah Flamingo beterbangan menuju hutan yang lebih aman dari cagar alam tersebut sebelum bencana tsunami. Pada saat tsunami melanda Srilangka, sekitar ratusan gajah, macan tutul, harimau, babi hutan, rusa, kerbau air, kera dan mamalia yang lebih kecil serta sejenis reptilia telah melarikan diri dengan selamat menuju ke dataran yang lebih tinggi. Sedangkan sejumlah besar kura-kura ditemukan mati didaerah puing-puing disepanjang pantai di propinsi Aceh. Kepekaaan dan naluri binatang terhadap respon akan timbulnya bahaya yang tidak dimiliki oleh manusia ini bisa digunakan sebagai alat untuk peringatan pertama bencana alam yang bisa digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan manusia sehingga bisa mengurangi jumlah korban jiwa manusia sebagaimana bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Meletusnya Gunung Sinabung dan Buruknya Manajemen Kesiapan Bencana Alam di Indonesia Gunung Sinabung yang meletus di Medan setidaknya memberikan banyak pelajaran khusunya bagi pemerintah Indonesia pada bidang manajemen kesiapan warga dalam menghadapi bencana alam dan kesiapan untuk memberikan bantuan yang memadai secara cepat. Realitas yang terjadi di Gunung Sinabung mengenai minimnya informasi untuk melakukan pengungsian yang tersebar di masyarakat menunjukkan bahwa penyebaran informasi yang terjadi di daerah tersebut masih buruk. Bukan hanya di daerah itu saja, namun bisa dikatakan hampir di keseluruhan daerah yang seringkali mengalami bencana. Ketersidaan sarana dan prasarana untuk melakukan hal tersebut nampaknya masih sangat minim. Selain itu, realitas di Gunung Sinabung juga menunjukkan bahwa harga-harga kebutuhan pokok begitu menjulang di daerah pengungsian. Selain itu, ketersediaan sembako pun ditengarai hanya mampu untuk dua hari ke depan seperti yang dilansir oleh situs kompas.com. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa ketersediaan logistik untuk menangani pengungsian yang diakibatkan oleh bencana alam belum sepenuhnya siap. Daerah pengungsian pun juga menjadi faktor masalah. Dengan banyaknya pengungsi dan tempat yang tidak cukup besar, maka timbullah insiden desak-desakkan di tempat pengungsian seperti yang dilansir oleh situs kompas.com dan juga kejadian demonstrasi yang meminta dapur umum untuk segera dibangun di tempat pengungsian. Keadaan tempat pengungsian nampaknya tidak cukup untuk membuat pengungsi merasa nyaman. Setidaknya hal-hal di atas menunjukkan bahwa kesiapan pemerintah Indonesia dan juga pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana alam masih sangat kurang. Masalah nyawa Entah apapun alasan yang diberikan oleh pemerintah dalam masalah ini, nampaknya tidak cukup mampu untuk diterima mengingat hal ini sangat berhubugan dengan nyawa manusia, nyawa penduduk Indonesia yang seharusnya diayomi dengan baik oleh pemerintah Indonesia. Jika saja informasi mengenai pengugngsian tidak tersebar dengan baik dan kemudian ada warga yang masih tertinggal, apakah pemerintah mau bertanggung jawab? Akankah kesalahan ditumpahkan kepada orang tersebut karena tidak bisa melihat tanda-tanda alam? Di daerah manapun, apalagi untuk daerah-daerah yang masih berupa desa dimana jarak antarrumah penduduk masih berjauhan, diperlukan adanya alat dengan suara keras yang dapat digunakan untuk mengingatkan penduduk di daerah tersebut untuk segera melakukan pengungsian. Tidak bisa jika yang diharapkan hanya secara oral berharap setiap mulut manusia disana segera menyampaikannya dengan cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar