Riwayat Sunan Gunung Jati
Pada permulaan abad Ke-XV agama Islam sudah berkembang di Pulau Jawa, terutama di Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Agama Islam. Gunung Jati termasuk wilayah negeri atau daerah Singapure (Celancang). Karena letaknya strategis di tepi pelabuhan Muara Jati, maka banyak pedagang asing yang datang ke sana baik pedagang Cina, Arab, maupun pedagang Gujarat. Seperti kita ketahui bahwa pedagang asing selain berdagang, mereka juga sebagai Muballigh yang sengaja menyebarkan agama Islam. Maka pada tahun 1420 M. Datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, beliau memohon agar diperkenankan menetap diperkampungan sekitar Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar pedagangan. Oleh Ki Surawijaya rombongan Syekh Idlofi diizinkan tinggal di kampung Pasambangan dimana terdapat Gunung Jati. Sejak itulah beliau memulai kegiatan berdakwah mengajak penduduk serta teman-teman dekatnya mengenal Islam.
Maka dalam waktu singkat pangguron Islam Gunung Jati sudah terdengar sampai ke pusat Padjajaran. Suatu hari Syekh Idlofi kedatangan Raden Walangsungsang dan adiknya Ratu Rarasantang serta istrinya Nyi Endang Geulis bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang adalah putra-putri Raja Padjajaran Raden Pamanarasa yang bergelar Prabu Siliwangi perkawinannya dengan Nyimas Subang Larang. Dengan kehadiran keluarga Keraton ini, semakin giatlah Syekh Idlofi berjuang menyebarkan agama Islam. Kegiatan dagangnya telah diserahkan kepada beberapa orang temannya, satu kebiasaan yang sering dilakukan Syekh Idlofi di luar waktu dakwah ialah Tafakur, karena itu para santri sering memanggilnya “Syekh Dzatul Kahfi” artinya “Sesepuh yang mendiami Gua” beliau senantiasa mengamati setiap santri yang akan meninggalkan Peguron Islam Gunung Jati dengan perkataan “Settana” artinya “Pegang teguhlah semua ajaran yang didapat dari Peguron Islam dan jangan sampai lepas”. Sejak itu orang yang akan dan dari Peguron mengatakan dan menamai Kampung Pasambangan itu dengan nama “Settana Gunung Jati”.
Setelah beberapatahun Raden Walangsungsang bersama adik dan istrinya berguru kepada Syekh Dzatul Kahfi di Peguron Islam Gunung Jati, mereka diperintahkan agar membuka hutan utnuk dijadikan pedukuhan hutan itu terletak di sebelah selatan Gunung Jati. Pedukuhan itu diberi nama TEGAL ALANG-ALANG, dan Raden Walangsungsan dipilih sebagai Kepala Dukuh dengan gelar KI KUWU. Bersama itu Raden Walangsungsang dijuluki Pangeran Cakrabuana. Dengan bekal kearifan dan kerjasama dalam segala bidang, Pangeran Cakrabuana berhasil mempercepat laju perekonomian Tegal Alang-alang. Sehingga banyak pedagang asing dari beberapa Bangsa dan Ras.
Maka banyak pendatang menamakan pedukuhan Tegal Alang-alang sebagai Caruban (Pertautan). Disamping itu karena masyarakat sebagian besar sebagai pencari ikan dan membuat petis dari air udang atau bahasa sundanya Cai Rebon, maka masyarakat menyebutnya Cirebon.
Pangeran Cakrabuana dan adiknya diperintahkan oleh Syekh Dzatul Kahfi agar menunaikan Ibadah Haji. Sedangkan istrinya diperintahkan tinggal di rumah karena sedang mengandung. Kepemimpinan pedukuhan Cirebon diserahkan kepada Pengalang Alang atau Ki Danusela.
Di Kota Mekkah mereka bermukim beberapa bulandi rumah Syekh Bayanillah sambil menambah ilmu agama Islam. Pada suatu hari Ratu Rarasantang dinikahi Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Syarif Abdillah mengganti nama Rarasantang menjadi Syarifah Muda’im. Dari perkawinannya mereka dikaruniai 2 orang putra, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Tiga bulan kehadiran 2 bayi keponakannya Pangeran Cakrabuana berpamitan untuk kembali ke tanah Jawa Caruban, sesampainya di Caruban pada tahun 1456 Pangeran Cakrabuana merasa kagum atas majunya pedukuhan Cakrabuana, Jabatan Kuwu diserahkan kembali kepada Pangeran Cakrabuana. Pedukuhan Caruban ditingatkan menjadi sebuah negeri dengan nama NAGARI CARUBAN LARANG. Guna mengimbangi kemajuan negeri Caruban yang kian pesat Pangeran Cakrabuan, membangun Istana Negeri yang diberi nama Istana Pakungwati, diambil dari nama putrinya sendiri. Selain itu untuk kunjungan tetapnya Syekh Dzatul Kahfi di Gunung Jati dibangun pula tempat peristirahatan pertamanan GUNUNG SEMBUNG terletak di sebelah barat Gunung Jati. Di trempat peristirahatan di buat tanah pasir yang berbentuk celah mata tanah itu dinamai PASIR MALELA.
Sebaigamana diketahui bahwa perkawinan Ratu Rarasantang atau Syarifah Muda’im dengan Syarif Abdillah, anak mereka sejak anak-anak keduanya diperintahkan oleh orangtuanya agar menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Pada saat Syarif Hidayatullah berusia 20 tahun ayahnya meninggal dunia, maka sebagai anak tertua beliau ditunjuk untuk menggantikan ayahnya. Akan tetapi karena beliau sudah bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya menjadi Muballigh di tanah Jawa Caruban, maka jabatanya digantikan oleh adiknya, Syarif Narullah. Beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Narullah, menjadi pemimpin Kota Isma’illiyah, Syarif Hidayatullah dan ibunya meninggalkan Kota Isma’illiyah untuk pulang ke Caruban. Sekitar tahun 1475 keduanya baru sampai di Caruban pada masa itu Syekh Dzatul Kahfi telah wafat. Dan dimakamkan di peguruannya maka dengan alasan agar selalu dengan makam gurunya Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah memohon untuk tinggal disana. Sesuai dengan yang sudah direncanakan Pangeran Cakrabuana menikahkan putrinya dengan Syarif Hidayatullah keponakannya. Pada tahun 1479 karena usianya yang semakin lanjut beliau mengalihkan kekuasaan Nagari Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.
Beliau sedikit demi sedikit mengembangkan agama Islam. Perjalanannya sampai ke Serang. Sebagian rakyat sudah mendengar tentang Islam dari pedagang Arab, ternyata disana disambut dengan hangat bahkan beliau diperkenankan menikahi putri yang bernama Nyi Ratu Kawunganten dari perkawinannya beliau mendapatkan 2 orang anak Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebaking King.
Demi mendengar bahwa wilayah Padjajaran agama Islam berkembang pesat dipimpin oleh Syarif Hidayatulah, maka Raden Patah bersama-sama mubaligh lainnya yang sudah bergelar Sunan menetapkan bahwa Syarif Hidayatullah penguasa Nagari Caruban sebagai “Penetep Panata Agama Rosul di tanah Pasundan”.
Beliau ditetapkan sebagai Sunan Cirebon dengan gelar Sunan Gunung Jati bermula dari sini pula terbentuklah sidang Dewan Wali sembilan (Wali Sanga) terdiri :
1. Maulana Raden Rahmat : Sunan Ampel
2. Maulana Makdum Ibrahim : Sunan Bonang
3. Maulana Raden Paku : Sunan Giri
4. Maulana Syarifuddin : Sunan Drajat
5. Maulana Ja’far Shodiq : Sunan Kudus
6. Maulana Raden Syahid : Sunan Kalijaga
7. Maulana Raden Prawata : Sunan Muria
8. Maulana Malik Ibrahim : Sunan Gresik
9. Maulana Syarif Hidayatullah : Sunan Gunung Jati
Dengan terbentuknya wali sanga ini, maka terjadilah rasa sepenanggungan dalam berjuang menengakkan agama Islam di tanah Jawa. Sebagai tindak lanjut dari permusyawarahan tersebut Raden Patah menyarankan agar Caruban sekalian diganti Kesultanan agar tidak selalu membayar upeti kepada Padjajaran.
Dengan dibantu oleh Raden Patah berdirilah Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan yang Pertama.
Setelah itu pedagang Tiongkok membanjiri wilayah Cirebon ini, setelah adanya pembauran melalui perkawinan antara Ki Gede Tapa, Nyi Rara Runda dengan saudagar Tiongkok Ma Huang. Dari Ma Huang atau Ki Dampu Awang Kaisar Tiongkok mendengar bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah keturunan arab oleh sebab itu kaisar mengizinkan putrinya dibawah oleh Ki Dampu untuk menikahkan dengan Sunan Gunung Jati, demi keuntungan bangsanya putri kaisar bernama Nyi Ong Tien diganti Nyi Ratu Rara Sumanding dari Putri Tiongkok ini Keraton Pakungwati banyak dihiasi Porselin banyak juga guci dari dinasti Ming, pernikahan beliau dengan Nyi Ong Tien pada tahun 1481 setahun sebelum membuat Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Masjid Agung dibangun 1480 atas prakarsa Nyimas Pakungwati dibantu oleh Walisanga dan beberapa tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah dalam pembangunan Masjid Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Sokoguru. Dari kepingan-kepingan kayu SAKA TATAL.
Setelah itu dengan wafatnya Pangeran Pasarean ini Sunan Gunung Jati yang sudah merintis ketetraman hari tuanya dengan menata agama di Pasambangan itu kembali mengambil kebijaksanaan dalam tahta pemerintahan Kesultanan Cirebon dengan mengangkat Aria Kemuning sebagai Sultan Cirebon ke-3 dengan gelar Dipati Carbon I. Aria Kemuning atau Dipato Kuningan sudah menjadi menantu Ki Bagus Pasai karena memperistri putrinya bernama Nyi Ratu Wanawati. Aria Kemuning adalah seorang anak angkat. Pada tahun 1568 seluruh warga Kesultanan Cirebon berduka cita dengan berpulangnya Syekh Maulana Syarif Hidayatulah Sultan Mahmud. Pada umurnya ke 120 tahun, beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Sembung bersama ibunya Syarifah Muda’im dan paman uwaknya Pangeran Cakrabuana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar